Total Pageviews

Monday, September 10, 2018

Agenda Setting


1. Definisi Agenda Setting 

Teori Agenda Setting adalah teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. 

Teori tentang agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head”. Teori agenda setting berikutnya dikembangkan oleh Maxwell C. McCombs, seorang professor peneliti surat kabar juga sebagai direktur Pusat Penelitian komunikasi Universitas Syracuse USA, dan Donald L. Shaw, seorang profesor jurnalistik dari Universitas North Carolina. Mc Combs dan Shaw menyatakan bahwa surat kabar, merupakan penggerak utama dalam agenda setting. Surat kabar mempunyai bagian besar dalam menentukan isu apa yang paling banyak diperbincangkan oleh khalayak, isu apa yang paling dipikirkan khalayak. 

Jones dan Baumgartner (2005) mendefinisikan agenda setting sebagai proses dimana organisasi memperhatikan beberapa masalah lebih dari masalah yang lain. Secara sederhana, teori didasarkan pada kenyataan bahwa agenda setting (diwujudkan dalam cakupan dan isi) mempengaruhi agenda publik yang pada gilirannya mempengaruhi agenda kebijakan. Oleh karena itu, sebagai teori efek media, agenda setting memberi pengaruh yang substansial kepada masyarakat. Griffin(2010) menyatakan bahwa :

mass media have the ability to transfer the salience of items on their news agendas to public agenda” 

McCombs dan Shaw (1972) menerangkan bahwa media massa mempunyai kemampuan untuk membuat masyarakat menilai sesuatu yang penting berdasarkan apa yang disampaikan media, dengan kata lain “we judge as important what the media judge as important”. 

Apa yang disampaikan media massa tentunya berpedoman pada kaidah jurnalistik yang berlaku, terlebih lagi media memiliki para wartawan yang meliput dan memberitakan informasi sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme mereka. Namun pada hal ini, McCombs dan Shaw (1972) menerangkan bahwa apa yang disampaikan media dianggap sebagai sesuatu yang penting dan patut untuk dipikirkan oleh masyarakat luas. 

Pernyataan Ben Cohen (1963) yang sangat terkenal yaitu media mungkin tidak berhasil untuk mengetahui tentang apa yang masyarakat pikirkan, namun mereka berhasil memberi tahu hal dan isu apa yang harus dipikirkan. 

Meski begitu, McCombs dan Shaw tidak menutup pandangan yang menghargai dan meyakini bahwa audience juga memiliki kekuatannya sendiri, yaitu dengan hipotesis selective exposure. Hipotesis ini menjelaskan bahwa manusia cenderung hanya akan melihat dan membaca informasi serta berita yang sejalan dan tidak mengancam atau bertentangan dengan kepercayaan yang selama ini mereka miliki dan bangun. Hal ini menunjukkan kekuatan dan kebebasan manusia dalam memilih, menyortir, dan menerima pesan yang disampaikan oleh media massa. 

Dengan begitu, dapat dilihat bahwa teori agenda setting memiliki keunikan yang mendukung dua asumsi dasar yang menarik yaitu 
  1. Teori ini menyatakan dengan jelas bahwa media massa memiliki kekuatan dalam mempengaruhi dan membentuk persepsi masyarakat. 
  2. Di sisi lain, teori ini juga mendukung hipotesis bahwa bagaimanapun semuanya kembali lagi kepada individu, dimana mereka memiliki kebebasan untuk memilih apa yang ingin mereka terima. 
Contoh kasus agenda setting yang paling nyata adalah tayangan berita di televisi. Ketika marak kasus kekerasan seksual pada anak, masyarakat menerima informasi tersebut sebagai gambaran dari realitas yang terjadi sesungguhnya meski sebenarnya mereka tidak mengalami langsung. Informasi ini membuat masyarakat menyadari akan urgensi dari perkara tersebut dan lebih peka akan indikasi yang mengarah pada kasus itu. Tak jarang setelah ada satu kasus kekerasan seksual anak yang muncul dari satu daerah, kasus serupa pun terbongkar dari daerah lain. 

Hal ini menunjukkan bahwa media mempengaruhi pola pikir manusia, termasuk terhadap apa yang dianggap penting dan tidak. Informasi yang diangkat dalam media membuat manusia menganggap bahwa itu adalah hal yang penting dan layak untuk diperhatikan. Media dapat membuat apa yang sebelumnya tidak begitu terlihat menjadi sorotan publik, baik hal itu memang benar-benar penting atau tidak.



2. Proses Terjadinya Agenda Setting

Hal mendasar dari teori agenda setting adalah keberadaan proses agenda setting yang linear terdiri dari media agenda, public agenda dan policy agenda. Mannhem (Severin dan Tankard, Jr:1992) menjelaskan proses agenda setting tersebut sebagai dimensi utama agenda setting antara lain : 


Media Agenda : prioritas isu didiskusikan dalam media. Beberapa hal yang dipertimbangkan antara lain :
  • Visibility (visibilitas), jumlah dan tingkat menonjolnya berita.
  • Audience Salience (tingkat menonjol bagi khalayak), relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.
  • Valence (valensi), menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa 


Public Agenda : agenda media berinteraksi (berpengaruh) dengan apa yang dipikirkan khalayak 
Beberapa hal yang dapat diamati antara lain : 
  • Familiarty (keakraban), derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu. 
  • Personal salience (penonjolan pribadi), relevansi kepentingan individu dengan ciri pribadi.
  • Favorability (kesenangan), pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita. 


Policy Agenda : agenda publik berpengaruh (berinteraksi) dengan pembuat kebijakan 
Beberapa hal yang dapat diamati antara lain : 
  • Support (dukungan), kegiatan menyenangkan bagi posisi berita tertentu. 
  • Likehood of action (kemungkinan kegiatan), kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.
  • Freedom of action (kebebasan bertindak), nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah. 

Agar lebih mudah dalam memahami proses terjadinya agenda setting, bisa dijelaskan secara singkat dalam gambar berikut ini: 

Gambar : Proses Agenda Setting 


Pendekatan agenda setting dimulai dengan asumsi media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan. Seleksi ini dilakukan oleh mereka yang disebut sebagai gate keeper, yaitu mereka para wartawan, pimpinan redaksi, penyunting gambar dan sebagainya. Dari gate keeper inilah yang menentukan berita apa yang harus dimuat dan apa yang harus disembunyikan. Setiap isu diberi bobot tertentu, apakah dimuat di halaman muka, sebagai head line, atau hanya di halaman belakang di sebelah pojok atau bagaimana, sedangkan pada televisi, berapa lama penyiaran, berapa kali ditayangkan dan sebagainya. Penonjolan isu-isu di media massa inilah yang disebut sebagai agenda media, yang akan berkorelasi atau berhubungan dengan agenda publik, yakni apa yang sedang dipikirkan dan dibicarakan orang ramai (community salience). 

McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat. Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita. 

Untuk menggambarkan interaksi antar ketiga elemen tersebut, dapat dijelaskan dengan kata kunci yaitu salience. Dearing dan Rogers (1996) mendefinisikan salience sebagai derajat/tingkat sebuah isu secara relatif dianggap penting. Secara singkat, ketika salience sebuah isu sedang naik atau turun di media agenda, maka begitu pula salience sebuah isu tersebut terjadi di public dan policy agenda

Dearing dan Rogers berpendapat bahwa salience jarang terjadi secara kebetulan, tetapi lebih pada proses yang aktif dan terencana. Sehingga proses tersebut merupakan kompetisi yang terus terjadi diantara para pendukung isu untuk mendapatkan perhatian dari pers, publik dan elit politik. Oleh karena itu, salience tidak terjadi secara pasif dan berkembang secara alami melainkan proses dari strategi yang kompetitif dan terstruktur. 

McCombs dan Shaw sebagai pengusung teori agenda setting menyatakan bahwa agenda media lah yang mempengaruhi terbentuknya agenda publik, dan dibuktikan dengan adanya korelasi kuat antara apa yang disampaikan media dan pengaruhnya pada pandangan publik. Sedangkan para ilmuwan lain mengkritik teori tersebut dan menyatakan bahwa media hanyalah menyampaikan dan merepresentasikan apa yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, agenda media adalah agenda publik yang disampaikan supaya lebih banyak diketahui lagi oleh masyarakat luas. Terlepas dari pro dan kontra mengenai proses terjadinya, gagasan mengenai agenda setting dapat dijadikan sebagai sarana social construct sebagaimana dinyatakan oleh Clayman dan Reisner (1998). 

Lebih lanjut mengenai agenda setting, hasil studi Cottle dan Nolan (2007) menunjukkan kenyataan bahwa parahnya masalah sosial belum tentu sama dengan salience dari agenda media. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua masalah bisa menjadi isu, dan tidak semua isu bisa mempunyai salience pada agenda media. Mc Combs menjelaskan bahwa tidak ada masyarakat maupun insititusi yang mampu memperhatikan lebih dari beberapa isu pada suatu waktu yang sama. Hal inilah yang menyebabkan hanya sedikit isu yang bisa diakomodasi dalam public agenda pada waktu tertentu. Teori The Zero Sum Game oleh Zhu (1996) menjelaskan bahwa pada suatu waktu tertentu, hanya sedikit isu yang dapat menjadi agenda media, oleh karena itu, untuk menaikkan isu harus “menenggelamkan” isu yang sebelumnya. 

Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa uraian di atas antara lain : 
  1. Agenda setting jarang terjadi secara kebetulan, tetapi lebih pada produk sosio politik dan keputusan media. 
  2. Real World Indicator (RWI) telah membuktikan bahwa salience dari isu pada media agenda tidak selalu sama dengan problem masalah yang terjadi. 
  3. Media, public dan policy agenda melaksanakan prinsip The Zero Sum Gate sehingga untuk memunculkan isu yang diharapkan, isu yang lain harus bisa digantikan. 

3. Agenda Setter

Ada beberapa pendapat mengenai siapa yang berkuasa dan memiliki kekuatan untuk menjadi agenda setter ini.
  1. Beberapa ahli berpendapat bahwa yang menentukan agenda untuk para agenda setters adalah editor berita atau gatekeeper. Gatekeeper memiliki peluang yang besar untuk menentukan agenda karena berita yang akan disampaikan masyarakat pasti melalui mereka dulu dan disaring. Mereka bisa membentuk dan menentukan berita apa yang disampaikan pada masyarakat dan apa yang tidak, sehingga menjadi praktek agenda setting.
  2. Para ahli lain berpendapat bahwa politisi yang memiliki peran sebagai penentu agenda bagi agenda setters. Politisi memilliki kepentingan yang memang menyangkut citra dan masyarakat sehingga memungkinkan untuk membentuk agenda setting.
  3. Public Relation atau humas professional juga dianggap memiliki peranan membentuk agenda setting. Tugas Public Relation yang memang membentuk dan mempertahankan citra juga sangat memungkinkan untuk menentukan agenda setting.


4.       4. Agenda Setting dan Media Advocacy 

National Cancer Institute (1989) mendefinisikan media advocacy sebagai upaya penggunaan media massa secara strategis untuk mendorong terjadinya kebijakan publik atau sosial. Secara sepsifik, Jackson (2009) mendefinisikan media advocacy adalah pendekatan berorientasi kebijakan dengan menggunakan media massa untuk promosi kesehatan. Kaitan antara agenda setting yang sebelumnya dibahas dan media advocacy adalah bahwa media advocacy merupakan upaya agar ide/gagasan tentang kesehatan dapat menjadi agenda di media.

Tujuan media advocacy antara lain : 
  1. Alat politik yang ditujukan utk memberikan efek tekan pada pembuat kebijakan utk perubahan sosial dan memobilisasi dukungan (Wallack dan Dorman, 1996). 
  2. Menerapkan tekanan pada perubahan kebijakan untuk mempromosikan diskusi kesehatan masyarakat, dari fokus utama pada prilaku kesehatan individu kepada perilaku pembuat kebijakan yang dimana keputusannya dapat menentukan lingkungan yang sehat bagi individu dan masyarakat (Wallack, 1993) 
  3. Membentuk persepsi kelompok pemuka masyarakat yang secara langsung berpengaruh pada para pembuatan keputusan. 
  4. Memobilisasi masyarakat untuk mempengaruhi pembuat kebijakan dan pemuka masyarakat. 
  5. Isu publik atau kesehatan masyarakat yang terlupakan, kemudian didiskusikan atau diangkat ke permukaan agar menjadi perhatian publik, atau dengan cara isu lama didiskusikan dengan sudut berbeda. 
  6. Mendiskreditkan pendapat seorang tokoh atau ahli dengan mengemukakan fakta atau pandangan baru yang layak diperhatikan, agar menjadi isu publik. 

Target sasaran advokasi media (Wallade dan Darfman, 1996) 
  1. Target sasaran primer: orang, kelompok, orang yang punya kekuasaan membuat keputusan 
  2. Target sasaran sekunder: Individu/kelompok yg dapat dimobilisasi untuk memberikan tekanan/pressure pd pembuat keputusan 
  3. Target sasaran tersier: Masyarakat umum 
Miller (1998) menekankan bahwa peran dan kapasitas media tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Dia menambahkan bahwa media adalah aktor sentral dalam proses politik. Wallack dkk dan Miller dkk secara tidak langsung menyatakan bahwa isu-isu kesehatan yang dihadapi individu di masyarakat dapat dirubah dari masalah individu menjadi isu-isu kesehatan masyarakat, dengan pemerintah menanggung tanggung jawab lebih besar untuk intervensi. Proses tersebut dimana hal tersebut dicapai adalah media advocacy, sedangkan hasilnya akan menjadi agenda setting

Media merupakan salah satu sarana vital advokasi, karena media massa merupakan wahana yang paling efektif untuk mengkomunikasikan pesan dan mempengaruhi sejumlah besar orang dalam waktu yang cukup singkat. Dengan sifat penyebaran informasi dan pengaruh yang luas ini, maka desakan untuk melakukan sebuah tindakan ataupun perubahan kebijakan dari masyarakat akan menjadi sangat besar. Cohen dalam Roemtopatimasang (2005) menjelaskan beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam berususan dengan media massa, yakni : 
  1. Kenali dengan baik siapa (posisi, fungsi dan jenis) mereka? 
  2. Ketahui dengan jelas siapa khalayak / audiens sasaran (segmen, pemirsa, pembaca, pelanggan) utama mereka? Jangan memilih media yang khalayak mereka bukan sasaran utama kampanye advokasi kita. 
  3. Persiapkan diri sebaik mungkin sebelum kita berurusan dengan mereka; kita yakin dan tahu persis apa pesan yang akan kita sampaikan, menguasai betul data dan fakta-fakta pendukungnya, dapat memperkirakan pertanyaan-pertanyaan apa saja yang mereka ajukan kepada kita, dan mampu memutuskan secara cepat dan tepat apakah kita akan menjawabnya dan pada saat kapan? 
  4. Isu tersebut harus mencerminkan adanya tujuan-tujuan perubahan yang lebih besar dalam jangka panjang. Adanya gambaran jelas tentang ini akan meyakinkan mereka yang kita ajak bahwa mereka akan mendukung sesuatu yang memang enting dan berdampak luas, meskipun dimulai dari sesuatu yang nampaknya kecil dan sederhana. 
  5. Siap untuk selalu menyampaikan dan menceritakan kebenaran. Sekali kita berbohong, semur hidup media tak akan percaya pada kita. 
Wallack, Jernigan dan Thenksa (1993) merumuskan 2 (dua) langkah sukses advokasi media antara lain: 
  1. Framing the issue to get access to media yaitu bagaimana membingkai isu di media massa. Contoh: Kasus bayi prematur Derra ditolak di RS dan kasus kematian serupa. Dengan banyak di blow up tiap hari bagaimana ortu bawa mayat naik ojek, diskusi di teve, tajuk rencana, opini di koran utk isu tsb dsb.
  2. Framing the issue of the content. Contoh: dari Kasus bayi premature Derra ditolak di RS, bisa di blow up bagaimana peran pemerintah, BPJS dan Rumah Sakit dalam kasus tersebut. 

.
DAFTAR PUSTAKA

Clayman, S.E. and Reisner, A. (1998) Gatekeeping in Action: Editorial Conferences and Assessments of Newsworthiness. American Sociological Review, Vol 63 (2)

Cottle, S. and Nolan, D. (2007) Global Humanitarianism and the changing Aid-media field: “Everyone was dying for footage” Journalism studies, 8 (6)

McCombs, M. (2004) Setting the Agenda: the mass media and public opinion. Cambridge: Polity Press
McCombs, M. (2005) The Agenda Setting Function of the Press. In: Overholser, G. and Jamieson, K.H. (Eds). The Press. New York: Oxford University Press

McCombs, M.E. and Shaw, D.L. (1972) The Agenda Setting Function of the Mass Media. Public Opinion Quarterly. Vol 36

Miller, D., Kitzinger, J., Williams, K., and Beharrell, P. (1998) The Circuit of Mas Communication London: Sage Publications

Pratomo, Hadi. 2013, Draf Akhir Advokasi Kesehatan dan Keluarga Berencana
Topatimasang, Roe, Mansour Fakih, & Toto Rahardjo (2005), Mengubah Kebijkan Publik, INSIST Press, Yogyakarta

Wallack, L., Dorfman, L., Jernigan D., and Themba, M. (1993) Media Advocacy and Public Health. United Kingdom: Sage Publications

No comments:

Post a Comment